Home

Oleh: Dimas Jayasrana

I.

Sejarah adalah sesuatu yang dibuat, ia tidak hadir begitu saja dan menampilkan dirinya sebagai kebenaran tunggal. Soal versi mana yang benar, itu adalah persoalan klaim kuasa atas sejarah tersebut. Peperangan atas banyak versi sejarah sebagai pertarungan kuasa memunculkan yang konon oleh Thomas Kuhn disebut sebagai situasi anomali. Situasi anomali ini adalah ajang perebutan kuasa atas sejarah. Siapa yang menguasai masa lalu, maka dia menguasai hari ini. Siapa yang mengusai hari ini, maka dia menguasai masa depan. Konon begitu adanya.

Maka banyak orang menghujat Suharto karena beliau dengan kroni-kroninya dianggap membelokan sejarah bangsa ini agar kekuasaannya langgeng. Sejarah bangsa dari A sampai Z konon beliau ceritakan ulang menurut versinya sehingga orang Indonesia mengalami gejala skizoprenia akut. Lupa akan sejarahnya, lupa akan identitasnya, lupa akan masa depannya. Ketika kekuasaan Suharto diruntuhkan, tiba-tiba tidak ada lagi dominasi atas sejarah tersebut, maka muncullah banyak versi sejarah bangsa ini yang kita anggap baru, bahkan ada beberapa yang hingga saat ini masih diperdebatkan keabsahannya. Lebih celakanya lagi, entah karena kebiasaan lupa, malas, atau takut, catatan-catatan sejarah pun minim jumlahnya.

Ketika kita sepakat bahwa membaca sejarah adalah membaca masa depan, maka masa depan kita seperti kepingan-kepingan mozaik yang ketika disusun pun kita tidak tahu apakah akan membentuk gelas, piring, meja, atau celana dalam sekalipun. Membuat kita sulit memprediksikan masa depan, atau tidak berani mendefinisikan siapa kita ini berdasarkan sejarah kita sendiri. Atau malah ini yang membuat kebanyakan dari kita lebih suka mempercayakan nasib kita pada peramal-peramal tangguh. Masa depan bisa ditentukan oleh sms.

Kita boleh bilang saat ini adalah jaman di mana kita punya kesempatan untuk menemukan kembali sejarah kita untuk menentukan langkah strategis ke depan. Namun celakanya kuasa pengetahuan (atas sejarah) masih dipegang oleh kelas menengah yang sepertinya masih tidak beminat untuk berbagi. Kelas yang paling loyo dalam pertumbuhan budaya. Boleh saja kita bilang ini adalah sebab-akibat dari persoalan yang sudah diurai di atas. Tapi kondisi ini adalah fakta yang harus dihadapi setiap harinya: kehadiran kelas menengah baru tidak memberikan dampak signifikan terhadap perkembangan gerakan budaya.

Dalam situasi seperti ini, tampaknya kita harus mahfum dengan tumpukan persoalan yang semakin hari terlihat semakin kompleks. Sekompleks tayangan sinetron 22 episode yang ceritanya muter-muter, atau sekompleks film cinta remaja yang ceritanya sama dengan sinetron itu: muter-muter.

II.

Mumpung ada momen Festival Film Pendek Konfiden 2006, saya mengorek catatan lama yang masih tersisa. Pada FFVII 2002 di Hotel Indonesia, sebagai bagian dari program festival diadakan sebuah diskusi yang diberi nama “Obrolan Forum Film”, di Ruang Sumbawa pada tanggal 15-16 Oktober 2002. Catatan yang saya miliki adalah semacam resume dari notulensi pertemuan tersebut. Diskusi ini dihadiri setidaknya 20 orang dari beberapa komunitas film di Indonesia dengan narasumber Mira Lesmana dan Christiantowati. (Silakan baca: Perkara Distribusi dan Eksebisi Film Alternatif).

Secara garis besar diskusi tersebut membahas mengenai persoalan distribusi dan eksibisi film alternatif Indonesia. Pada saat itu, setidaknya wacana mengenai pentingnya memikirkan soal distribusi dan eksebisi film alternatif Indonesia sudah menjadi obrolan banyak orang dan tentu utamanya dari para kalangan penggiatnya. Wacana “Membuat Film Itu Mudah” yang digelontorkan oleh Konfiden pada awal kemunculannya terbukti cukup ampuh untuk membangkitkan gairah anak muda di Indonesia untuk membuat film. Banyak workshop atau seminar tentang produksi film pendek baik soal teknis maupun tetekbengek teorinya. Alhasil muncullah kelompok-kelompok anak muda yang menamakan dirinya komunitas film.

Kemunculan komunitas-komunitas film ini yang hampir semuanya digagas oleh anak muda, utamanya dari kalangan kampus, tidak bisa disepelekan sama sekali. Pada saat itu, hal tersebut dianggap sebagai fenomena baru, yang diduga sebagai bagian dari perayaan kebebasan berekspresi yang selama 32 tahun terkukung oleh rezim orba. Bikin film itu trendi, atau setidaknya sebagai tren baru buat anak muda yang gairahnya masih menggelegak.

Setelah momen-momen perayaan itu terasa telah sampai pada kilmaksnya, banyak pihak yang mulai bertanya-tanya: setelah ini apa? Banyak produksi, tapi ternyata sedikit ruang untuk menampilkannya. Ketika ingin menampilkannya, ternyata sulit untuk mendapatkannya. Membuat film memang mudah, tapi untuk menampilkannya (kepada publik luas; seluas-luasnya) dan mendapatkannya ternyata tidak mudah. Banyak yang bersemangat untuk memecahkan persoalan itu, tapi tampaknya semangat saja belum cukup.

Salah satu hal mendasar yang dianggap krusial keberadaannya adalah soal jaringan. Setelah dipikir-pikir dan dirunut-runut, ternyata jaringan komunitas-komunitas film ini baik antar mereka sendiri maupun dengan ruang-ruang lain yang dapat mendukung pengembangannya belumlah kuat. Bangunan jaringan tersebut dengan pergerakannya masih terasa sporadis. Belum terlihat ada keinginan untuk membangun visi bersama; mau kemana kita? Apa yang harus kita lakukan untuk mencapai tujuan bersama itu? Mungkin keinginan-keinginan tersebut baru terlontar pada skala obrolan warung kopi saja.

Seno Gumira menuliskan:”…Jadi, jika ingin ada orang menonton film Indonesia, masyarakat penonton itu harus diciptakan dulu, dan menurut saya mendrop dana Rp 3 milyar (atau Rp 30 milyar, atau bahkan Rp 300 milyar) untuk membuat sebuah film “nasional” bukanlah jalan keluar. Menciptakan masyarakat penonton yang secara demokratis mampu memilih film berdasarkan apresiasi terlatih, sebenarnya merupakan tugas suatu pendidikan semesta. Pendidikan semacam ini hanya merupakan mimpi, jika pertumbuhan filmologi dalam masyarkat bersangkutan masih nol besar.” (Bangkit-Tak Bangkit Sinema Indonesia; Sinema Gerilya, Pendidikan Semesta, dan Filmologi).

Bagaimana caranya kita menciptakan masyarakat penonton yang demokratis itu? Strategi apa yang harus kita bangun untuk dapat melakukan pendidikan semesta itu? Membentuk jaringan yang kuat bisa menjadi jawabannya. Dengan adanya jaringan maka akses informasi dan wacana bisa terdistribusi dengan baik. Dengan adanya akses informasi dan wacana yang terdistribusi dengan baik, maka dapat dilakukan penguatan pada masing-masing basis sesuai kebutuhannya. Dengan penguatan basis maka akan membentuk kumpulan basis yang kuat sehingga menciptakan basis kolektif yang kuat. Basis kolektif yang kuat akan menciptakan masyarakat film yang sehat. Pendidikan semesta berjalan: ”Ah! Kalau itu sih anak kecil juga tahu.”

Nyatanya ini masih dalam ucapan klise; tidak semudah membalikkan telapak tangan. Lebih mudah membalikkan badan ketika frustasi menghadapi realitas bahwasanya mengurai persoalan yang dihadapi oleh kita, penggiat film alternatif, adalah pekerjaan serius yang membutuhkan daya tahan luar biasa.

III.

Terlibat dengan perfilman alternatif Indonesia ini, entah sebagai komponen apapun di dalamnya, adalah sebuah keputusan politik. Gerakan film alternatif Indonesia adalah gerakan politik budaya yang harus diseriusi kalau memang mau melakukan perubahan. Perubahan tidak bisa terjadi kalau kita sendiri tidak tahu mau ngapain di ruang ini. Harus ada aksi nyata, dari hal yang paling sederhana; mari kita berjaringan dan saling berbagi. Lagi-lagi: ”Ah! Anak kecil juga tahu!”

Tidak heran menyaksikan komunitas film bermunculan secara revolusioner dan mati dengan cara lebih lebih revolusioner lagi. Para pegiatnya yang dominan mahasiswa/i dengan waktu tayang mereka yang relatif sebentar untuk memiliki waktu beridealisme-ria, tampaknya memang sedikit sekali yang memiliki konsistensi untuk tetap memilih sebagai penggiat film alternatif dalam bentuk apapun. Mereka tidak bisa dipersalahkan karena memang untuk menjadi pegiatnya tidak bisa memberikan jaminan apapun, apalagi kalau bicara soal penghidupan.

Kita masih jauh dari mental profesional di segala lini. Bagaimana mau profesional, kalau visi saja tak punya. Bagaimana mau punya visi, kalau pendidikan semestanya juga tidak jalan. Bagaimana pendidikan semesta mau jalan kalau semua jalan sendiri-sendiri. Ya memang wajar jalan sendiri-sendiri, lah wong memang tak punya kebutuhan untuk membentuk jaringan. Buat apa membentuk jaringan, mending aksesnya dipakai sendiri!

Mungkin asumsi saya terlalu jauh, Kebablasan. Saya sendiri pun masih punya optimisme yang terus dipelihara, bahwasannya persoalan-persoalan di atas dapat diatasi, walau itu akan memakan waktu seumur hidup dan lucunya, seringkali saya berpikir bahwa memiliki keyakinan seperti itu harus pun memiliki keyakinan bahwa keyakinan tersebut baik adanya dan bukan merupakan mimpi siang bolong.

Seringkali hal rumit terselesaikan dengan cara yang teramat sederhana, seperti Newton menjadi bapak gravitasi gara-gara kejatuhan apel (coba kalau dia kejatuhan duren, mungkin hasilnya beda). Tapi tentu saja persoalan kita (kalau kita sepakat menganggapnya sebagai persoalan) tidak akan terselesaikan dengan cara kejatuhan apel. Banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan dan kita tidak bisa menyelesaikannya sendiri-sendiri. Harus ada kesadaran politik bersama. Harus ada komitmen. Harus ada kesetiakawanan sosial (aduh…PPKN sekali). Dan sekali lagi, bisa jadi kerumitan ini bisa diurai sedikit-sedikit dengan kita berjaringan. Apakah ini akan menjamin dan menjanjikan sesuatu kedepannya? Wah, saya juga tak tahu.*

Jakarta, 3 November 2006

 

Leave a comment